A. Hadits Shahih
1. Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih (الصحيخ) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari
kata as-saqim (السقيم) = orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits
shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan
cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga
ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
a. Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya
telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di
atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
b. rawi-rawinya adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi
yang taqwa dan muru`ah. yang dimaksud adil di sini ialah adil dalam
meriwayatkan hadist, yaitu orang yang mukallaf, yang selamat dari fasik
dan sifat-sifat yang rendah. oleh karena itu, orang kafir, fasiq, gila,
dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak masuk orang yang adil.
sedangkan, orang perempuan, budak dan anak yang sudah mumazziz bias
digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kateria tersebut. keadilan
seorang perawi menurut ibnu’s-sam’any, harus memnuhi empat syarat:
1) selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2) menjahui dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3) tidak malakukan perkara-perkara yang berbau mubah yang dapat menggugurkan imam kepada kadar dan mengkibatkan penyesalan.
4) tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’.
Pengarang al-irsyad menta’rifkan perkataan “adil” itu adalah berpegang
teguh kepada pedoman adab-adab syara’. baik yerhadap perintah yang harus
dilakukan, maupun larangan yang harus ditinggalkan,
c. rawi-Rawinya sempurna kedhabitannya
Yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang kuat ingatannya, artinya
bahwa ingatannya lebih banyak dari pada lupanya. dan kebenaran lebih
banyak dari pada kasalahannya. kalau seseorang mempunyai ingatan yang
kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain
dan ingatanya itu sanggup dibuktikan kapan dan dimana saja.maka orang
tersebut disebut orang yang dlabithu’ sh-shadri.
d. Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits
kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan
dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
e. Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits
kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab
yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu
hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
2. Syarat-Syaratnya
Melalui definisi di atas dapat diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan
yang wajib terpenuhi sehingga ia menjadi hadits yang Shahîh ada lima:
a. Sanadnya bersambung
b. Para periwayatnya ‘Adil
c. Para periwayatnya Dlâbith
d. Tidak terdapat ‘illat
e. Tidak terdapat Syudzûdz
3. Pembagian Hadis Shahih.
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih
li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada
segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan
perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan
perowinya kurang sempurna.
a. Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti
adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya,
karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis
shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama
sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya
atau yang lebih kuat dari padanya.
4. Contoh hadis shohih
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, untuk itu ada baiknya kami berikan sebuah contoh.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya
Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan
kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn
Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata,
aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah
membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para
periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh
an(dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan
ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang
digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b. Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith.
Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan
oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin.
Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati
keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah.
Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c. Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
d. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
B. Hadits Hasan
1. Definisi
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara
istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang
disebutkan berikut ini:
a. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang
definisi hadits Hasan: “Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil,
yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung
sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang
tidak cacat dan tidak punya keganjilan.”
b. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi)
tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak
terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada
sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat
kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu
jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
2. Klasifikasi Hadits Hasan
a. Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits
yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat
hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
......”Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat....
b. Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak
nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak
adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik
berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang
lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif
(lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit
menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya
dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
"Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang
sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun
membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari
'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa
'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain
yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan
dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang
bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima
oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
3. Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang
lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi
kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad
pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada
sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar